Pejuang Tak Kenal Usia
![]() |
Suryo |
Mentari
perlahan mulai beranjak dari kedudukannya semula, menghangatkan dan menyilaukan
pandangan. Teriknya membuat manusia lebih senang menghabiskan waktunya di
ruangan tertutup. Namun hal ini tidak kita dapatin di jiwa Suryo, lelaki paruh
baya ini mempunyai semangat hidup yang besar. Usianya tidak menghalangi ia
untuk melakukan apa pun pekerjaan agar dapat melanjutkan hidup.
Sengatan
mentari yang terus membakari kulit keriputnya tak membuat Suryo pantang
menyerah untuk menjualkan dagangan ubi talasnya. Suryo satu dari lelaki paruh
baya yang masih ingin melanjutkan hidup di kota Tanjungpinang ini. Mendagangkan
ubi talas dengan merangkul karung goni di punggungnya yang sudah mulai bungkuk.
Suryo
menjual ubi talas di Perumahan Bumi Indah dengan penghasilan per bulan kurang
lebih 500 ribu rupiah. “ ini untuk biaya istri saya yang sakit dan keperluan
makan,” ucapnya dengan tersenyum. Pekerjaan ini dia jalani sejak istri jatuh
sakit dan ia dipecat dari pekerjaannya. Ia harus menjaga isrinya yang tidak
dapat lagi berjalan karena penyakit yang istrinya derita sejak 4 bulan terakhir
ini.
Beruntung Suryo mendagangkan ubi
yang diambil dari kebunnya sendiri. Dalam sehari-hariya jika tidak ada yang
bisa dimakan, ubi lah menjadi pengganjal perut Suryo dan istri. Ketika disinggung
masalah anak Suryo hanya tersenyum pahit “Saya tidak ingin menganggu anak-anak
saya, mereka sudah berkeluarga semua,” ujarnya. Kesedihan yang mendalam
terlihat dari ucapan Suryo dengan ketiga orang anaknya yang tidak perhatiaan
kepada orang tuanya.
Yang terpenting baginya sekarang ia
dapat merawat istrinya dan melanjutkan hidup dengan semangat. Kesedihan, kecewa
yang ia rasakan ia tepiskan agar apa yang dia harapkan dapat terwujud dengan
baik.
“Hidup
ini harus dijalanin, dan jangan lupa bersyukur agar terasa ringan semua masalah
ini,” ujarnya lagi. Selama ia berkeliling menjualkan ubi talas, ia mempunyai
tetangga yang baik, selalu menolong ketika Suryo dan istri mengalami kesusahan.
Kata syukur selalu teterlontar di mulutnya.
Tanpa pernah menyalahkan Tuhan atas kesempitan hidup yang ia alami dari
semenjak kecil hingga saat ini. Namun hanya syukurlah menjadi kunci untuk
menopang hidupnya menjadi lebih tegar dan siap menjalani hidup ini walau
seperti berada dalam kungkungan duri-duri tipis yang mengikis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar